Tanaman ini kalau hitung-hitungan dalam sekali panen bisa Rp 50 juta rupiah per hektare. Walaupun masa panennya sembilan bulan.
Merdeka.com, Kutai Timur - Bupati Kutai Timur (Kutim) Ismunandar membuat program pengembangan komoditi unggulan singkong gajah yang sudah dilaksanakan di Kecamatan Rantau Pulung. Program ini dia yakini bisa memberi nilai tambah bagi kesejahteraan dan mampu mengerek perekonomian masyarakatnya.
Selain itu, singkong gajah ini juga untuk mengimbangi tanaman sawit di Kutim yang kini luas totalnya sekitar 350 ribu hektare. "Kalau itu terjadi, artinya hitung-hitungan di atas kertas, ya paling tidak nilai tambahnya 50 persen bagi masyarakat," kata Ismu kepada merdeka di Kutim, beberapa waktu lalu.
Ismunandar berharap masyarakatnya bisa beralih ke pertanian singkong gajah sebagai solusi untuk meningkatkan penghasilan. Bahkan dia tak masalah bila nanti Kutim dikenal sebagai kabupaten singkong, asalkan singkong produksi pertanian di daerah ini benar-benar memberikan nilai manfaat besar bagi masyarakat.
Seperti apa sih program ini dijalankan, berikut ini wawancara singkat Ismunandar dengan Muhammad Taufiq dari merdeka.com:
Bisa dijelaskan kenapa Kutim mencanangkan diri sebagai daerah singkong gajah?
Kutai Timur ini kan dikenal sebagai penghasil batu bara. Pembentuk PDRB (produk domestik regional bruto) itu paling besar dari royalti batu bara, kemudian lifting migas. Tetapi sekarang kita bertumpu pada agribisnis dan agroindustri, kelapa sawit yang ditanam (di Kutai Timur) sudah hampir 350 ribu hektare, itu sudah menghasilkan. Nah ini, meskipun tanaman sawit ini tidak memberikan sumbangan pada PDRB, tetapi bisa langsung dinikmati masyarakat.
Tetapi, menanam sawit ini kan enggak bisa sembarangan, harus memperhatikan pemupukannya, pemeliharaannya, sampai dia berbuah. Tapi paling tidak masyarakat yang menikmati manisnya buah sawit ini sudah terlihat lah. Sekarang ini saya ingin bagaimana banyak lahan-lahan kosong yang tidak dimanfaatkan itu kita coba dengan pengembangan singkong gajah. Ya Alhamdulillah, di Kecamatan Rantau Pulung ini sudah berjalan dengan baik. Artinya sudah bisa menghasilkan.
Kenapa harus singkong, bukan tanaman lain?
Pertama, merawat tanaman ini kan tidak ribet, tinggal ditanam saja. Jadi saya menginginkan, walaupun mereka sudah ada pendapatan dari sawit, atau dari tanaman lain, ini menjadikan nilai tambah. Artinya, asal mereka mau bekerja, tidak ada kemiskinan. Memang kalau dicari miskin absolut, tidak bisa makan seharian, itu tidak ada di sini. Nah inilah saya mencari peluang-peluang usaha di sisi agribisnis ini untuk masyarakat. Mesin juga sudah kita bantu. Kita sudah berusaha membangun trust (kepercayaan) dengan mereka (investor).
Kalau itu terjadi, artinya hitung-hitungan di atas kertas, ya paling tidak nilai tambahnya 50 persen bagi masyarakat. Maka dari itu, biarpun disebut kabupaten singkong gajah, saya akan tetap mengembangkan itu di sini. Karena dari sisi tanah, dari sisi iklim, memungkinkan. Tidak menunggu hujan, hujan bisa turun terus.
Mengubah pola bercocok tanam masyarakat tentu susah, bagaimana strategi Anda?
Nah untuk itulah kenapa saya bikin demplot dulu, artinya percontohan dulu di satu kecamatan. Saya ingin ini nanti menjadi base practice bagi daerah-daerah lain untuk melihat dan mengikuti. Nah ternyata hasilnya cukup menggembirakan. Kemudian tadi ada beberapa investor juga yang akan mengembangkan itu, saya minta pola kemitraan. Saya berpikir, lahan kita ini kan luas. Sementara tanaman ini kalau hitung-hitungan dalam sekali panen bisa Rp 50 juta rupiah per hektare. Walaupun masa panennya sembilan bulan.
Kalau dia punya enam hektare saja, ini kan luas. Tinggal kemampuan menanam mereka saja. Apalagi tanaman pangan umbi-umbian seperti ini penggunaan lahannya tidak serta merta di lahan kosong, tapi bisa tumpangsari atau lahan-lahan tidur. Katakan satu keluarga saja, dia menanam enam hektare, satu bulan katakan dia bisa menghasilkan Rp 25 juta, berarti gajinya itu Rp 25 juta per bulan. Inilah, saya ingin agar semua masyarakat saya untuk bersama-sama menanam singkong. Akhirnya disambut oleh para camat, ada yang menyiapkan 200 hektare, 150 hektare.
Artinya lahannya sudah siap di setiap kecamatan?
Sudah ada, jadi tidak usah yang seribu atau dua ribu, lahan yang ada itu sudah cukup, seratus atau dua ratus hektare, nanti di kecamatan lain silakan. Nah ini camat-camat sudah menyiapkan.
Itu di hulu, bagaimana hilirnya? Misalnya setelah petani panen dijual ke mana, pasarnya di mana?
Sudah ada mesinnya, karena pasarnya nanti datang, investor juga sudah siap. Saya tidak mau seperti dulu kita pernah menanam nila, jarak, tapi begitu masyarakat sudah menanam tidak ada pasarnya. Akhirnya mereka (masyarakat) kecewa. Oleh sebab itu saya tidak mau, pastikan dulu pasarnya, baru kita lakukan program ini. Jadi ini simultan. Tadi mereka (investor) sudah meninjau di Kecamatan Rantau Pulung. Walaupun hasilnya satu pohon masih 7 kilo gram, mereka masih bisa diupgrade sampai 50 persen. Belum mandi pupuk dan lainnya.
Apa sih kelebihan singkong gajah ini?
Karena namanya gajah kan ukurannya besar-besar. Satu pohon kan isinya besar-besar, kalau yang kita punya satu pohon itu menghasilkan 7 kilogram, itu masih bisa diupgrade. Itu nanti untuk diolah pabrik jadi tepung tapioka atau olahan lain, jadi pakan ternak atau apa. Sebagaimana sekarang ada yang meminta izin untuk membangun refinery untuk mengolah sektor hilir-nya kelapa sawit itu, ya saya izinkan. Nah inilah kenapa saya bertumpu pada agribisnis dan agroindustri itu.
Karena kalau izin batu bara diberikan, ya pastilah banyak yang datang. Ini saja KPC (PT Kaltim Prima Coal) sudah 60 juta ton per tahun, Indominco mungkin 20 juta-an ton per tahun. Ada lagi Indexim, ada tambang atom, nah sebentar lagi mungkin September ini LG sudah mulai produksi batu bara. Itu kalau izin diberikan orang sendiri yang datang. Memang bagi masyarakat bisa jadi tenaga kerja di sana, tapi katakanlah bekerja di sana digaji Rp 3 juta per bulan, dengan menanam singkong bisa di atas itu kan? Apalagi belum tentu juga mereka mendapat peluang kerja di pabrik batu bara.
Tapi kan tidak semua lahan pertanian masyarakat Kutim bisa ditanami singkong. Misalnya lahan sawah yang ditanami padi?
Jadi begini, biarkan mereka menggunakan lahan-lahan yang tidak termanfaatkan. Kita ini masih banyak lah lahan-lahan transmigrasi itu yang belum dimanfaatkan. Lahan itu masih kosong, nah inilah yang seperti camat-camat tadi lakukan, menyiapkan lahan. Ada camat yang menyiapkan seratus hektare, dua ratus hektare, lalu camat-camat lain. Itu masyarakat yang sudah diinventarisir, yang berminat untuk mengembangkan singkong. Yang penting kan kemauan masyarakat. Kalau berminat kan berarti lahan sudah ada.
Kalau boleh tahu investornya dari mana?
Tadi dari Surabaya, saya suruh meninjau bagaimana bisa berdiskusi dengan masyarakat di sana kan. Mereka ya tertarik melihat. Kita juga sudah menyiapkan lahan, kita ada lahan yang namanya anti-estates, lahan yang tidak digunakan untuk sawit. Nah inilah yang kita manfaatkan nanti buat kawan-kawan yang akan berinvestasi. Jadi di samping mereka menerima hasil kita, mereka kita berikan kesempatan juga untuk mengembangkan sendiri. Jadi ini nanti terserah bagaimana mereka mengembangkan kemitraan.