“Dari Rp 148 miliar, Kutim hanya mendapat Rp 8,9 miliar yang ditransfer pertengahan Desember,” kata Musyaffa.
Merdeka.com, Kutai Timur - Serangan dan tudingan miring ke Pemkab Kutim, terutama pada kepemimpinan Bupati dan Wakil Bupati, Ismunandar-Kasmidi Bulang kembali beredar di dunia maya. Terutama dari pihak ketiga yang mengklaim sudah sabar menanti pembayaran hasil pekerjaan mereka, ternyata urung direalisasikan oleh pemerintah. Padahal kenyataannya hal tersebut disebabkan kebijakan sepihak Pemerintah Pusat yang kembali memangkas transfer Dana Bagi Hasil (DBH) kepada Pemkab Kutim di 2017.
Sehingga kas daerah Pemkab Kutim pun disebut-sebut kosong. Alhasil, utang daerah pada pihak ketiga pun kembali menumpuk di 2018. Mau tak mau, hal tersebut membiat badai defisit yang mendera Pemkab Kutim semakin menjadi. Terlebih utang pada pihak ketiga akibat pemangkasan anggaran di 2016 lalu, sebanyak Rp 1,9 trilun juga belum terselesaikan.
Agar informasi yang beredar tak salah dan membuat bingung masyarakat, Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kutim, Musyaffa lantas menjelaskan persoalan sebenarnya. Mantan Kabag Keuangan Setkab Kutim tersebut mengatakan kondisi keuangan tak stabil yang terjadi bukan karena kepemimpinan Ismu-KB, tapi ada andil dari Pemerintah Pusat yang terus menerus memangkas DBH dan pajak daerah ke Kabupaten Kutim. Padahal diketahui hingga saat ini, APBD Pemkab Kutim masih bergantung sekali dengan alokasi dana dari pusat.
Musyaffa menyebut penerimaan Pemkab Kutim, terutama dari DBH mengalami penurunan drastis selama dua tahun belakangan ini. Awalnya, di 2016, Pemerintah Pusat mengalokasikan dana Rp 3,4 triliun pada APBD Kutim melalui Perpres 137 tahun 2015.
“Dengan Perpres tersebut, Pemerintah dan DPRD Kutim melakukan rapat penyusunan program kerja dan kegiatan hingga menjadi Perda. Belum habis tahun 2016, keluar Perpres 66 tahun 2016, yang isinya mengubah rencana salur dari Rp 3,4 trilun menjadi hanya Rp 1,9 triliun. Padahal, pemerintah sudah menggelar lelang pekerjaan dan sebagian sudah berjalan, bahkan ada yang sudah selesai. Alhasil, setelah dilakukan rasionalisasi, Pemkab Kutim terpaksa berutang sekitar Rp 600 miliar pada pihak ketiga,” ungkap Musyaffa, Kamis (28/12).
Utang tersebut rencananya dibayar pada 2017 dengan memangkas beberapa belanja dan program kerja baru. Melalui Perpres, Pemerintah Pusat kembali merencanakan alokasi sebesar Rp 2,066 triliun. Belum habis 2017, kata Musyaffa, kembali terbit perpres nomor 86 tahun 2017, yang menyatakan penyaluran dana pusat ke daerah hanya Rp 1,8 triliun. Itu berarti terjadi selisih sekitar Rp 250 miliar. Sehingga memaksa Pemkab Kutim kembali harus memangkas program dan kegiatan.
"Sementara proses lelang dan sebagian program sudah dikerjakan,” keluh Musyaffa.
Tak cukup sampai di situ. Pemerintah Pusat dengan alasan kondisi keuangan negara, memutuskan tidak menyalurkan alokasi anggaran triwulan IV yang besarnya Rp 340 miliar, Desember ini. Jadi, dana yang diharapkan untuk membayar kegiatan dan proyek di 2017, termasuk gaji TK2D (Tenaga Kerja Kontrak Daerah), terpaksa masuk dalam catatan utang. Secercah harapan sempat muncul dengan adanya kompensasi kurang salur dari Pemerintah Pusat sebesar Rp 148 miliar yang rencana dibayarkan pada pertengahan Desember 2017. Namun, belakangan terbit Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang membatalkan transfer kurang salur tersebut.
“Dari Rp 148 miliar, Kutim hanya mendapat Rp 8,9 miliar yang ditransfer pertengahan Desember. Sisanya, dikonversikan ke dana lebih salur yang pernah di terima Pemkab Kutim, beberapa tahun sebelumnya, sejumlah Rp 400 miliar. Jadi dicicil untuk membayar kelebihan salur,” beber Musyaffa.
Musyaffa menegaskan bahwa Pemkab Kutim sebelumnya sudah berupaya meminta dispensasi ke Pemerintah Pusat. Ternyata oleh Pemerintah Pusat dijelaskan bahwa hal tersebut sudah jadi program pusat dan berlaku nasional.