“Ini jadi pekerjaan rumah kami, komitmen saya bersama Bupati Ismunandar membawa Kutim lebih dikenal dari sektor pariwisata,” kata Kasmidi.
Merdeka.com, Kutai Timur - Tim ekspedisi II ke Hutan Lindung Wehea (Huliwa) yang sempat menikmati pesta adat Lom Plai di desa Nehes Liah Bing, langsung menuju ke lokasi dengan menempuh sekitar 60 km. Kendati demikian, diperlukan perjuangan ekstra, lantaran ada empat titik jurang yang dilintasi.
Tim yang dipimpin langsung Wakil Bupati (Wabup) itu, harus melintasi empat titik jurang untuk bisa memasuki Huliwa. Tim harus ekstra hati-hati, lantaran sudah gelap gulita. Sekitar pukul 22.00 Wita, akhirnya tim tiba di Kantor Balai Pengelolaan Huliwa. Terdapat satu gedung berbentuk rumah panggung memuat sekitar 500 orang.
Meski agak terasa lelah, malam itu, Kasmidi Bulang langsung mengajak berdiskusi beberapa undangan dan peserta. Tampak Direktur Penyiapan Kawasan dan Perhutanan Sosial dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno, Kabid Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Konservasi Sumber Daya Alam BLH Budi Siswanto, Kepala Adat Wehea Ledjie Taq dan sejumlah perwakilan pejabat Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Setkab Kutim.
Dari obrolan ringan ini mencuat beberapa poin penting di mana Huliwa masih butuh perhatian konkrit. Pasalnya walaupun sudah ditetapkan sebagai Hutan Lindung Adat pada 12 Agustus 2015, namun masih ditemukan banyak kekurangan. Untuk diketahui status hutan adat, sebagian besar kewenangan pengelolaan diserahkan kepada kearifan lokal mempunyai hak penuh aras hutan adat Wehea. Berbeda dengan hutan lindung atau hutan tropis lain yang masih dalam kuasa penuh Negara. Pengelolaan hutan adat akan diatur dalam hukum adat dengan mengacu pada prinsip kelestarian lingkungan dan keberlanjutan sumber daya kehutanan.
“Ada sukarelawan sebanyak 35 orang menjaga huliwa namun tidak digaji, hanya logistik saja lembaga adat Wehea memberikan bantuan. Saya minta perhatian Bupati maupun Wakil Bupati Kutim bisa memberikan honor dalam bentuk surat keputusan (SK) Pemkab Kutim guna mendukung pengelolaan dan keamanan Huliwa,” harap Ledjie Taq.
Ledjie menambahkan huliwa dengan luas 38.000 hektare ini kekurangan guide yang bisa berbahasa inggris, sebab warga Wehea sebagian besar belum fasih berkomunikasi dengan turis. Hal lain mengapa Wehea belum terekpose maksimal ke luar Kaltim karena tidak adanya mobil operasional di Huliwa mengantar wisatawan yang ingin berkunjung.
“Ada program membawa wisatawan terkendala pendanaan. Perlu dana dalam perencanaan kegiatan di Huliwa, namun kami mempunyai kas itu pun tidak cukup untuk membiayai operasional yang akan berakhir Mei 2017,” tambahnya.
Mendengar keluhan kepala adat tersebut, Wakil Bupati Kasmidi Bulang siap membantu dalam melestarikan Wehea. Dirinya akan merencanakan bantuan dari APBD Kutim menggerakkan potensi hutan adat ini sehingga tidak jalan di tempat.
“Ini jadi pekerjaan rumah kami, komitmen saya bersama Bupati Ismunandar membawa Kutim lebih dikenal dari sektor pariwisata. Setelah saya dengar dari paparan bapak Ledjie Taq, atas nama pemerintah, Wehea akan mendapat alokasi anggaran. Hutan adat Wehea ini menjadi kebanggaan, karena sudah mengharumkan nama kutim di mata internasional setelah terpilih menjadi juara ketiga penghargaan, yakni Schooner Prize Award 2008 di Vancouver, Kanada dibawah Taman Laut Masyarakat Arnavon di Pulau Solomon meraih juara I dan Bolivia Forest di Bolivia juara II,” kata Kasmidi.
Sementara itu Direktur Penyiapan Kawasan dan Perhutanan Sosial KLHK Wiratno cukup terkejut di hutan seluas 38.000 hektare dijaga hanya 35 orang sukarelawan. Hal ini menjadi bukti salah satu swakarsa hak penguasahaan hutan (HPH) dari warga wehea serius menjaga hutan adat tidak punah.
“Jadi contoh hutan adat yang mandiri dan penuh perjuangan. Nanti saya sampaikan ke kementrian, wehea salah satu hutan adat terluas kebanggaan borneo,” tutupnya.