"Biji kelor dan jarak yang sudah disangrai, bisa kita manfaatkan untuk menjernihkan air dari unsur keasaman tanah," kata Juremi.
Merdeka.com, Kutai Timur - Jika biasanya pengolahan air menggunakan zat kimia, kini Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (Stiper) Kutim menemukan teknologi sederhana dan alami. Adalah biji kelor atau jarak yang selama ini tak dilirik masyarakat, justru bermanfaat untuk menjernihkan air tanah yang mampu digunakan sebagai kebutuhan air minum keseharian masyarakat.
Teknologi sederhana itu sudah diteliti dan diujicoba oleh Sekolah Tinggi Pertanian (Stiper) Kutai Timur yang mengambil lokasi di desa Benua Baru Ulu, kecamatan Sangkulirang. Dari ujicoba yang telah dilakukan, hasilnya cukup menggembirakan, lantaran airnya sangat jernih dan bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan air minum.
"Biji kelor dan jarak yang sudah disangrai, bisa kita manfaatkan untuk menjernihkan air dari unsur keasaman tanah. Kita sudah melakukan ujicoba untuk kebutuhan air masyarakat di desa Benua Baru Ulu, kecamatan Sangkulirang," kata Direktur Stiper Prof Juremi Sugeri didampingi Dani Afrianto, dosen Program Studi Teknik Pertanian.
Terobosan teknik penjernih air dengan memanfaatkan biji buah kelor atau jarak sebagai pengikat unsur besi yang terkandung di dalam air tanah itu, akan terus dikembangkan di beberapa daerah di Kutai Timur. Selama ini, pihaknya telah melakukan penelitian selama setahun belakangan bekerjasama dengan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kutim.
Saat ini produk penjernih air ini rencananya akan digunakan di salah satu embung yang ada di Desa Benua Baru Ulu Kecamatan Sangkulirang. Sebelumnya, air embung di kawasan itu banyak mengandung zat asam dan zat besi. Setelah diberikan biji daun kelor atau biji jarak, hasilnya cukup jernih.
Menurut Dani, untuk menghasilkan air tanah menjadi jernih dan bisa digunakan menjadi air minum, pihaknya menggunakan biji buah kelor yang telah disangrai. Hasilnya sangat menakjubkan, biji kelor yang sudah disangrai tadi sangat ampuh sebagai pengikat kandungan besi yang terkandung di dalam air tanah.
"Awalnya, kita merendamkan biji kelor yang telah disangrai selama 15 menit di dalam wadah penampungan air. Kemudian air yang ada dialirkan dengan disaring terlebih dahulu menggunakan arang tempurung kelapa sebagai karbon aktif dan pasir sebagai filternya. Alhasil, air yang dikelola bisa langsung digunakan sebagai bahan baku air minum dan tinggal ditambahkan sedikit disinfektan sebagai pembunuh kuman," jelas Dani.
Utuk membangun pengelolaan air bersih menggunakan biji buah kelor ini, menurut dosen Stiper ini, diperlukan biaya sebesar Rp 150 juta guna mendirikan menaranya. Sementara peralatan penjernih memerlukan biaya sebesar Rp 4 juta per unitnya dengan kapasitas pengolahan air mencapai 31 kubik air per hari.
Alokasi anggaran yang dikeluakan untuk biaya pembuatan menara dan lainnya itu, dinilai masih murah, terlebih semuanya ramah lingkungan karena menggunakan buah kelor yang alami sehingga tanpa menggunakan zat kimia, serta berjangka waktu yang sangat panjang. Bahkan teknologi ini dapat diaplikasikan sebagai penjernih air berskala rumah tangga.
"Masyarakat juga bisa menanam pohon kelor di sekitar embung untuk mendapatkan biji buah kelor. Sedangkan aplikasi penjernih air ini selain dilakukan di embung Desa Benua Baru Ulu Kecamatan Sangkulirang, juga rencanaya akan dikembangkan di Kecamatan Teluk Pandan dan Kecamatan Kaubun, yang memang memiliki kualitas air bersih yang rendah," katanya.