1. KUTAI TIMUR
  2. PARIWISATA

Lom Plai diusulkan jadi agenda wisata budaya nasional

“Saya segera laporkan ke Bupati Ismunandar, Lom Plai terus dilaksanakan sebagai warisan leluhur yang harus dijaga kelestariannya,” kata Kasmidi

Wabup Kasmidi Bulang ketika mengikuti upacara adat Lom Plai di lapangan sepakbola desa Nehes Liah Bing dan disaksikan ratusan masyarakat, baik Kutim maupun luar Kutim. ©2017 Merdeka.com Reporter : Ardian Jonathan | Senin, 10 April 2017 15:18

Merdeka.com, Kutai Timur - Upacara adat Lom Plai (pesta syukuran panen) di desa Nehes Liah Bing, kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur yang digelar setiap tahun, bakal diusulkan menjadi agenda wisata budaya nasional. Sebab, upacara adat ini sangat menarik bagi wisatawan mancanegara maupun nasional.

Hal itu juga terlihat saat pesta adat Lom Plai pada Sabtu (8/4/2017) lalu yang dilaksanakan di lapangan sepakbola desa Nehes Liah Bing. Tidak hanya dari warga Adat Dayak Wehea, sejumlah pendatang dari berbagai luar Kutai Timur (Kutim) seperti dari Jakarta, Balikpapan, Samarinda dan Bandung tumpah ruah menyaksikan rangkaian kegiatan ritual adat turun temurun tersebut.

Dipadukan dengan tarian dan sejumlah lomba, Pesta adat ini dihadiri sejumlah pejabat lingkup Pemkab Kutim dan undangan. Seperti Wakil Bupati Kasmidi Bulang dan istri Ny Tirah Satriani serta Asisten Pemerintahan dan Kesra Mugeni. Direktur Penyiapan Kawasan dan Perhutanan Sosial dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Wiratno, serta sejumlah perwakilan pejabat dari Organisasi Pejabat Daerah (OPD) Setkab Kutim terkait. Antara lain Dinas Pariwisata, Dinas Sosial, serta BPBD Kutim.

Wabup Kasmidi Bulang menyatakan siap membawa Lom Plai  jadi wisata budaya nasional yang diakui pusat, dalam hal ini oleh Presiden Joko Widodo. “Saya segera laporkan ke Bupati Ismunandar, Lom Plai terus dilaksanakan karena dapat mengharumkan nama Kutim sebagai warisan leluhur yang harus dijaga kelestariannya. Dampaknya positif  ke sektor perekonomian bukan hanya ramai dikunjungi penikmat wisatawan luar Kutim dan mancanegara, tapi mendapatkan pendapatan bagi warga Wehea sekaligus garansi promosi wisata,” tegas Kasmidi.

Sedangkan perwakilan dari KLHK Wiratno menuturkan dirinya sangat antusias ketika menyaksikan Lom Plai ini. Sesuai dengan apa yang diperjuangkan Joko Widodo dalam program Nawacita membangun daerah pesisir mempertahankan tradisi budaya.

“Kebetulan dalam waktu dekat tepatnya 20 April, saya berencana bertemu dengan Bupati Kutim menetapkan Wehea sebagai hutan lindung adat terbesar. Perbincangan ini sekaligus merencanakan mengundang Presiden Joko Widodo ke Wehea sekaligus menonton langsung Lom Plai bisa saja di tahun depan,” katanya.

Upacara tradisional masyarakat Suku Wehea ini sudah ada sejak zaman nenek moyang dan tak pernah putus di gelar setiap tahun pasca panen padi. Khususnya dilakukan warga yang mendiami daerah-daerah di wilayah Sungai Wehea dan Telen. Seperti diceritakan Kepala Adat Wehea Ledjie Taq dahulu kala, datang kemarau berkepanjangan, membuat tumbuh-tumbuhan, ternak dan manusia sebagian besar tidak mampu lagi bertahan hidup.

Di tengah situasi ini, Diang Yung, seorang ratu yang menatap di daerah itu menjadi gundah. Suatu malam sang ratu pun bermimpi didatangi oleh Dohtan Tenyei (Yang Maha Kuasa), dan mengatakan kepadanya untuk rela mengorbankan sang putri tunggalnya yang bernama Long Diang Yung, demi menyelamatkan masyarakatnya dari musibah.

"Saat itu Diang Yung berkata, apakah sayang sama putrinya atau sayang dengan masyarakatnya? Kalau memang mau menyelamatkan orang banyak harus rela mengorbankan putri satu-satunya itu," kisah Ladjie Taq.  

Setelah terbangun dari tidurnya, sang ratu mengalami dilema. Hatinya berkecamuk kencang. Permasalahan itu pun kemudian dimusyawarahkan kepada para pemuka adat. Lalu timbul kesimpulan yaitu menyelamatkan orang banyak dan mengorbankan putri tunggal pewaris kerajaan itu. Mengapa kita harus ada pantangan? Karena mengingat sumpah yang disampaikan ratu Diang Yung sebelum mengorbankan putrinya. Seperti menyiangi (mencabut) padi layaknya anak sendiri, dilanjutkan Erau atau membuat pesta setahun sekali kepada putri ratu meskipun gagal panen sekalipun.

Ledjie Taq menambahkan masyarakat Suku Wehea mempercayai bahwa kehadiran padi merupakan jelmaan dari serumpun padi dinamakan Pali Long Diang Yung. Diyakini tumbuh tak ada henti-hentinya dan kemudian dibagikan kemasyarakat hingga saat ini untuk ditanam secara bersama-sama. Lom Plai dilaksanakan pada rentang Bulan Maret hingga April.

“Tanggal tidak bisa ditetapkan. Menurut petuah harus sesuai dengan bulan rezeki. Pasalnya diluar bulan ini bisa melanggar pantangan sumpah dan ditakutkan membawa keburukan buat masyarakat Wehea. Kami ingin keberhasilan Desa Adat Wehea ini diperjuangkan ke pusat,” tutupnya.


(AJ/AJ)
  1. Zona Turis
  2. Wisata
SHARE BERITA INI:
KOMENTAR ANDA